Matan Ushul Sunnah dan Terjemahnya
قَالَ الشَّيْخُ الإِمَامُ أَبُو المُظَفَّرِ عَبْدُ المَلِكِ
بْنِ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ الهَمْدَانِيُّ: حَدَّثَنَا الشَّيْخُ أَبُو عَبْدِ
اللهِ يَحْيَى بْنِ أَبِي الحَسَنِ بْنِ البَنَّا، قَالَ: أَخْبَرَنَا وَالِدِي
أَبُو عَلِيِّ الحَسَنِ بْنِ عُمَرَ بْنِ البَنَّا، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو
الحُسَيْنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُشْرَانَ المُعَدَّلُ،
قَالَ: أَخْبَرَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ السَّمَاكُ، قَالَ: حَدَّثَنَا
أَبُو مُحَمَّدٍ الحَسَنُ بْنُ عَبْدِ الوَهَّابِ أَبُو العَنْبَرِ قِرَاءَةً مِنْ
كِتَابِهِ فِي شَهْرِ رَبِيعِ الأَوَّلِ سَنَةَ ثَلَاثٍ وَتِسْعِينَ وَمِائَتَيْنِ،
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ المِنْقَرِيُّ
بِتِنِّيسَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُوسُ بْنُ مَالِكٍ العَطَّارُ، قَالَ: سَمِعْتُ
أَبَا عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَقُولُ:
Syaikh Imam Abul Muzhaffar ‘Abdul
Malik bin Ali bin Muhammad Al-Hamdani berkata: Syaikh Abu ‘Abdillah Yahya
bin Abil Hasan bin Al-Banna berkata: Menceritakan kepada kami bapakku, Abu ‘Ali
Hasan bin Ahmad bin Abdillah bin Al-Banna, ia berkata: Menceritakan kepada
kami Abul Husain Ali bin Muhammad bin Abdillah bin Busyran Al-Mu’addal,
ia berkata: Menceritakan kepada kami Utsman bin Ahmad bin As-Sammak, ia
berkata: Menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdul Wahhab bin Abu
Al-’Anbar ―dengan dibacakan kitabnya kepadanya― pada bulan Rabiul Awwal
tahun 293 H, ia berkata: Menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin
Sulaiman Al-Minqari Al-Bashri di Tinnis, ia berkata: Menceritakan
kepadaku ‘Abdus bin Malik Al-Aththar, dia berkata: Aku mendengar Abu ‘Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:
1. Berpegang
Teguh Kepada Ajaran Sahabat
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ، وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ، وَتَرْكُ البِدَعِ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ،
وَتَرْكُ الخُصُومَاتِ وَالجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ، وَتَرْكُ المِرَاءِ
وَالجِدَالِ وَالخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ.
Pokok-pokok Akidah menurut kami (Ahlus
Sunnah) adalah:
(1) Berpegang teguh pada ajaran Sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengikuti mereka,
(2) Menjauhi bid’ah dan setiap bid’ah
sesat,
(3) Menjauhi mendebat para pengikut hawa
nafsu dan duduk bersama mereka, serta meninggalkan berdebat dalam agama.
2. Sumber
Akidah adalah Hadits Rasulullah
وَالسُّنَّةُ عِنْدَنَا آثَارُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَالسُّنَّةُ تُفَسِّرُ القُرْآنَ،
وَهِيَ دَلَائِلُ القُرْآنِ، وَلَيْسَ فِي السُّنَّةِ قِيَاسٌ، وَلَا تُضْرَبُ لَهَا
الأَمْثَالُ، وَلَا تُدْرَكُ بِالعُقُولِ وَلَا الأَهْوَاءِ، إِنَّمَا هِيَ الِاتِّبَاعُ
وَتَرْكُ الهَوَى.
(4) Sunnah (Akidah) menurut kami (Ahlus
Sunnah) diambil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
(5) Sunnah berfungsi menafsirkan Al-Quran
dan menunjukkan makna-makna Al-Quran.
(6) Tidak ada analogi (qiyas) dalam
Sunnah.
(7) Sunnah tidak boleh dibantah dengan
pemisalan dan tidak boleh dibantah dengan akal dan hawa nafsu. Akan tetapi
Sunnah disikapi dengan ittiba (diikuti dan diterima) dan meninggalkan
hawa nafsu.
وَمِنَ السُّنَّةِ اللَّازِمَةِ الَّتِي مَنْ تَرَكَ مِنْهَا خَصْلَةً - لَمْ يَقْبَلْهَا
وَيُؤْمِنْ بِهَا - لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهَا:
Termasuk Sunnah-Sunnah (Akidah) yang jika
ditinggalkan satu saja ―tidak diterima maupun tidak diimani― maka ia bukan
termasuk Ahlus Sunnah adalah:
3. Beriman
Kepada Takdir
الإِيمَانُ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالأَحَادِيثِ فِيهِ
وَالإِيْمَانُ بِهَا، لَا يُقَالُ «لِمَ» وَلَا «كَيْفَ»، إِنَّمَا هُوَ التَّصْدِيقُ بِهَا وَالإِيمَانُ بِهَا.
(8) Beriman terhadap takdir yang
baik maupun yang jelek, mempercayai semua hadits tentangnya dan mengimaninya.
Tidak dibantah dengan pertanyaan “Kenapa” dan “Bagaimana”, akan tetapi wajib
dipercaya dan diimani.
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ تَفْسِيرَ الحَدِيثِ وَيَبْلُغْهُ عَقْلُهُ؛ فَقَدْ كُفِيَ
ذَلِكَ وَأُحْكِمَ لَهُ؛ فَعَلَيْهِ الإِيمَانُ بِهِ وَالتَّسْلِيمُ لَهُ، مِثْلُ حَدِيثِ
الصَّادِقِ المَصْدُوقِ، وَمِثْلُ مَا كَانَ مِثْلَهُ فِي القَدَرِ، وَمِثْلُ أَحَادِيثِ
الرُّؤْيَةِ كُلِّهَا، وَإِنْ نَأَتْ عَنِ الأَسْمَاعِ وَاسْتَوْحَشَ مِنْهَا المُسْتَمِعُ؛
فَإِنَّمَا عَلَيْهِ الإِيمَانُ بِهَا، وَأَنْ لَا يَرُدَّ مِنْهَا حَرْفًا وَاحِدًا
وَغَيْرَهَا مِنَ الأَحَادِيثِ المَأْثُورَاتِ عَنِ الثِّقَاتِ.
(9) Siapa yang tidak mampu memahami tafsir
sebuah hadits (tentang takdir) dan akalnya tidak mampu menjangkaunya, maka hadits
itu sudah cukup dan ditetapkan. Wajib baginya mengimaninya dan menerimanya,
seperti hadits Shodiqul Masduq (tentang pencatatan takdir janin di
rahim), semua hadits tentang takdir, dan semua hadits tentang ru’yah
(melihat Allah di Akhirat). Dia hanya diwajibkan mengimaninya dan tidak boleh menolak
satu huruf pun dari kabar tersebut, begitu pula hadits-hadits lain yang
diriwayatkan oleh para perawi terpercaya.
وَأَنْ لَا يُخَاصِمَ أَحَدًا، وَلَا يُنَاظِرَهُ، وَلَا يَتَعَلَّمَ الجِدَالَ؛ فَإِنَّ
الكَلَامَ فِي القَدَرِ وَالرُّؤْيَةِ وَالقُرْآنِ وَغَيْرِهَا مِنَ السُّنَنِ مَكْرُوهٌ
وَمَنْهِيٌّ عَنْهُ، لَا يَكُونُ صَاحِبُهُ - وَإِنْ أَصَابَ بِكَلَامِهِ السُّنَّةَ
- مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ حَتَّى يَدَعَ الجِدَالَ، وَيُسَلِّمَ وَيُؤْمِنَ بِالآثَارِ.
(10) Tidak boleh mendebat siapapun
(tentang takdir) dan tidak boleh pula belajar ilmu debat. Sebab berdebat dalam
masalah takdir, ru’yah, dan Al-Quran serta Akidah-Akidah lainnya adalah
haram dan terlarang. Orang yang melakukan itu bukan termasuk Ahlus Sunnah,
meskipun beberapa ucapannya sesuai dengan Sunnah, kecuali ia meninggalkan debat,
dan ia pasrah dan beriman kepada hadits-hadits tersebut.
4. Al-Quran
Adalah Firman Allah Bukan Makhluk
وَالقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَلَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، وَلَا يَضْعُفُ أَنْ يَقُولَ:
لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، فَإِنَّ كَلَامَ اللَّهِ لَيْسَ بِبَائِنٍ مِنْهُ، وَلَيْسَ مِنْهُ
شَيْءٌ مَخْلُوقٌ، وَإِيَّاكَ وَمُنَاظَرَةَ مَنْ أَحْدَثَ فِيهِ، وَمَنْ قَالَ بِاللَّفْظِ
وَغَيْرِهِ، وَمَنْ وَقَفَ فِيهِ، فَقَالَ: «لَا أَدْرِي مَخْلُوقٌ أَوْ
لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، وَإِنَّمَا هُوَ كَلَامُ اللَّهِ»؛ فَهَذَا صَاحِبُ بِدْعَةٍ
مِثْلُ مَنْ قَالَ: «هُوَ مَخْلُوقٌ»، وَإِنَّمَا هُوَ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ.
(11) Al-Quran adalah Kalamullah (ucapan
Allah) bukan makhluk. (12) Tidak boleh kamu lemah mengatakan ia bukan makhluk,
karena Kalamullah bagian dariNya, dan tidak ada apapun yang berasal dari
bagianNya adalah makhluk. (13) Hindarilah mendebat orang yang melakukan
penyimpangan dalam perkara ini dan orang yang mengatakan “Lafazhku dari membaca
Al-Quran adalah makhluk”, begitu pula orang yang ragu-ragu hingga mengatakan
“Aku tidak tahu ia mahluk atau bukan makhluk, yang jelas ia Kalamullah,” orang
ini adalah pengikut bid’ah, mirip orang yang mengatakan Al-Quran makhluk. Sungguh
Al-Quran hanyalah Kalamullah, bukan makhluk.
5. Beriman
Melihat Allah di Akhirat
وَالإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ، وَأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدْ رَأَى رَبَّهُ، وَأَنَّهُ
مَأْثُورٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ صَحِيحٌ، رَوَاهُ قَتَادَةُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، وَرَوَاهُ الحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ،
وَرَوَاهُ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مِهْرَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَالحَدِيثُ
عِنْدَنَا عَلَى ظَاهِرِهِ كَمَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، وَالكَلَامُ فِيهِ بِدْعَةٌ،
وَلَكِنْ نُؤْمِنُ بِهِ كَمَا جَاءَ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَلَا نُنَاظِرُ فِيهِ أَحَدًا.
(14) Beriman terhadap ru’yatullah
(melihat Allah) di hari Kiamat (Surga), sebagaimana dalam riwayat shahih dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
(15) Juga beriman bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah melihat Rabbnya, dan riwayat ini shahih dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu diriwayatkan Qotadah
dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan dari Al-Hakam bin Aban dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihron
dari Ibnu Abbas.
(16) Hadits ini menurut kami (Ahlus
Sunnah) dipahami zohirnya sebagaimana datangnya dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Membicarakan hadits ini adalah bid’ah. Adapun kami,
mengimaninya sesuai zohirnya dan tidak mendiskusikannya dengan siapapun.
6. Beriman
Terhadap Mizan (Timbangan Amal)
وَالإِيمَانُ بِالمِيزَانِ كَمَا جَاءَ: «يُوزَنُ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ
فَلَا يُوزَنُ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ»، وَتُوزَنُ أَعْمَالُ العِبَادِ كَمَا جَاءَ فِي الأَثَرِ،
وَالإِيمَانُ بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ، وَالإِعْرَاضُ عَمَّنْ رَدَّ ذَلِكَ، وَتَرْكُ
مُجَادَلَتِهِ.
(17) Beriman terhadap Mizan (timbangan
amal) seperti dalam hadits: “Ada hamba yang ditimbang pada hari Kiamat dan
beratnya lebih ringan dari sayap nyamuk.” Amal-amal hamba juga ditimbang
seperti dalam beberapa hadits.
(18) Wajib mengimaninya dan
mempercayainya, serta meninggalkan siapa saja yang menentangnya dan tidak perlu
mendiskusikannya.
7. Allah
Berbicara Kepada HambaNya di Akhirat
وَأَنَّ اللَّهَ يُكَلِّمُ العِبَادَ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَهُ
تُرْجُمَانٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ.
(19) (Beriman bahwa) Allah akan berbicara
kepada manusia pada hari Kiamat tanpa penerjemah. Wajib mengimaninya dan mempercayainya.
8. Beriman
Terhadap Telaga Nabi
وَالإِيمَانُ بِالحَوْضِ، وَأَنَّ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ حَوْضًا يَوْمَ القِيَامَةِ
تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتُهُ، عَرْضُهُ مِثْلُ طُولِهِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، آنِيَتُهُ كَعَدَدِ
نُجُومِ السَّمَاءِ، عَلَى مَا صَحَّتْ بِهِ الأَخْبَارُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ.
(20) Beriman terhadap Telaga (Haudh).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki Telaga para hari
Kiamat yang dikunjungi umatnya, lebarnya seperti panjangnya yaitu perjalanan sebulan.
Gayungnya sebanyak bintang di langit. Hadits-hadits tentangnya shahih dan
memiliki beberapa jalur periwayatan.
9. Beriman
Terhadap Siksa Kubur
وَالإِيمَانُ بِعَذَابِ القَبْرِ، وَأَنَّ هَذِهِ الأُمَّةَ تُفْتَنُ فِي قُبُورِهَا،
وَتُسْأَلُ عَنِ الإِيمَانِ وَالإِسْلَامِ، وَمَنْ رَبُّهُ؟ وَمَنْ نَبِيُّهُ؟ وَيَأْتِيهِ
مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ، كَيْفَ شَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَكَيْفَ أَرَادَ، وَالإِيمَانُ
بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ.
(21) Beriman terhadap siksa kubur, dan
bahwa umat ini akan diuji di dalam kuburnya dengan ditanya tentang iman dan
Islam: Siapa Rabbmu? Siapa Nabimu? Dan ia akan didatangi Munkar dan Nakir,
bagaimananya terserah Allah. Wajib mengimaninya dan mempercayainya.
10. Beriman
Terhadap Syafaat Nabi
وَالإِيمَانُ بِشَفَاعَةِ النَّبِيِّ ﷺ، وَبِقَوْمٍ يَخْرُجُونَ مِنَ النَّارِ
بَعْدَمَا احْتَرَقُوا وَصَارُوا فَحْمًا، فَيُؤْمَرُ بِهِمْ إِلَى نَهْرٍ عَلَى بَابِ
الجَنَّةِ كَمَا جَاءَ فِي الأَثَرِ، كَيْفَ شَاءَ اللَّهُ وَكَمَا شَاءَ، إِنَّمَا
هُوَ الإِيمَانُ بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ.
(22) Beriman terhadap syafaaat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan terhadap kaum yang dikeluarkan dari Neraka setelah
terbakar hingga hangus. Lalu mereka disuruh (mandi) di sebuah sungai di samping
pintu Surga, sebagaimana termaktub dalam hadits, bagaimananya dan seperti apa
terserah Allah. Kita hanya wajib mengimaninya dan mempercayainya.
11. Beriman
Munculnya Dajjal
وَالإِيمَانُ أَنَّ المَسِيحَ الدَّجَّالَ خَارِجٌ، مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
كَافِرٌ، وَالأَحَادِيثُ الَّتِي جَاءَتْ فِيهِ، وَالإِيمَانُ بِأَنَّ ذَلِكَ كَائِنٌ،
وَأَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ يَنْزِلُ فَيَقْتُلُهُ بِبَابِ لُدٍّ.
(23) Beriman bahwa Al-Masih Ad-Dajjal akan
keluar dan tertulis di dahinya kafir, dan (mengimani pula) hadits-hadits
lain tentangnya, dan beriman bahwa hal itu pasti terjadi, dan
(24) Isa putra Maryam akan turun lalu
membunuhnya di pintu Lud.
12. Iman
Mencakup Ucapan dan Perbuatan
وَالإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، كَمَا جَاءَ فِي الخَبَرِ:
«أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا».
(25) Iman adalah ucapan dan perbuatan yang
bisa bertambah dan berkurang, seperti dalam hadits: “Orang beriman yang
paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya.”
وَمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ فَقَدْ كَفَرَ، وَلَيْسَ مِنَ الأَعْمَالِ شَيْءٌ تَرْكُهُ
كُفْرٌ إِلَّا الصَّلَاةَ، مَنْ تَرَكَهَا فَهُوَ كَافِرٌ، وَقَدْ أَحَلَّ اللَّهُ
قَتْلَهُ.
(26) Siapa yang meninggalkan shalat maka
ia kafir. Tidak ada amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kafir selain
shalat. Siapa yang meninggalkannya maka ia kafir dan Allah membolehkan ia
dibunuh.
13. Yang Terbaik
dari Umat Ini
وَخَيْرُ هَذِهِ الأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، ثُمَّ
عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ، ثُمَّ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، نُقَدِّمُ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةَ
كَمَا قَدَّمَهُمْ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَخْتَلِفُوا فِي ذَلِكَ، ثُمَّ
بَعْدَ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ أَصْحَابُ الشُّورَى الخَمْسُ: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ،
وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَسَعْدٌ، كُلُّهُمْ
يَصْلُحُ لِلْخِلَافَةِ وَكُلُّهُمْ إِمَامٌ. وَنَذْهَبُ فِي ذَلِكَ إِلَى حَدِيثِ
ابْنِ عُمَرَ: كُنَّا نَعُدُّ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ حَيٌّ، وَأَصْحَابُهُ مُتَوَافِرُونَ:
أَبُو بَكْرٍ، ثُمَّ عُمَرُ، ثُمَّ عُثْمَانُ، ثُمَّ نَسْكُتُ.
(27) Yang terbaik dari umat ini setelah
Nabinya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq lalu Umar bin Khatab lalu Utsman bin
Affan. Kami mendahulukan mereka bertiga seperti yang dilakukan para Sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka tidak berselisih
tentangnya.
(28) Kemudian setelah tiga orang ini
adalah tim musyawarah (di zaman Umar), yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah,
Az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad. Mereka semua layak menjadi khalifah
dan mereka semua adalah pemimpin (tokoh). Kami berpendapat seperti itu merujuk
kepada hadits Ibnu Umar: “Kami dahulu mengurutkan saat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan para Sahabat masih hidup: Abu Bakar lalu Umar lalu
Utsman lalu kami diam.”
ثُمَّ مِنْ بَعْدِ أَصْحَابِ الشُّورَى أَهْلُ بَدْرٍ مِنَ المُهَاجِرِينَ، ثُمَّ
أَهْلُ بَدْرٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَلَى قَدْرِ الهِجْرَةِ
وَالسَّابِقَةِ أَوَّلًا فَأَوَّلًا.
(29) Kemudian setelah tim musyawarah
adalah pasukan Badar dari Muhajirin lalu pasukan Badar dari Anshor yang
merupkan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (pilihan), di
mana keutamaan mereka sesuai keterdahuluan hijroh dan masuk Islam.
ثُمَّ أَفْضَلُ النَّاسِ بَعْدَ هَؤُلَاءِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: القَرْنُ
الَّذِي بُعِثَ فِيهِمْ. كُلُّ مَنْ صَحِبَهُ سَنَةً أَوْ شَهْرًا أَوْ يَوْمًا أَوْ
سَاعَةً أَوْ رَآهُ، فَهُوَ مِنْ أَصْحَابِهِ. لَهُ مِنَ الصُّحْبَةِ عَلَى قَدْرِ
مَا صَحِبَهُ، وَكَانَتْ سَابِقَتُهُ مَعَهُ، وَسَمِعَ مِنْهُ، وَنَظَرَ إِلَيْهِ نَظْرَةً.
فَأَدْنَاهُمْ صُحْبَةً هُوَ أَفْضَلُ مِنَ القَرْنِ الَّذِينَ لَمْ يَرَوْهُ، وَلَوْ
لَقُوا اللَّهَ بِجَمِيعِ الأَعْمَالِ.
(30) Kemudian manusia terbaik setelah
mereka para Sahabat Rasulullah adalah generasi yang Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam diutus kepada mereka.
(31) Setiap orang yang bersahabat dengan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik setahun, sebulan, sehari, bahkan
sesaat pun atau pernah melihatnya, maka ia termasuk Sahabatnya. Derajat
persahabatannya sesuai kadar lama bersahabat, keterdahuluan masuk Islam,
mendengar darinya, dan melihatnya. (32) Orang yang paling rendah kadar
persahabatannya adalah lebih utama daripada generasi yang tidak melihat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meskipun bertemu Allah membawa semua jenis amal shalih.
كَانَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ صَحِبُوا النَّبِيَّ ﷺ وَرَأَوْهُ وَسَمِعُوا مِنْهُ
وَمَنْ رَآهُ بِعَيْنِهِ وَآمَنَ بِهِ وَلَوْ سَاعَةً: أَفْضَلَ لِصُحْبَتِهِ مِنَ
التَّابِعِينَ وَلَوْ عَمِلُوا كُلَّ أَعْمَالِ الخَيْرِ.
(33) Orang-orang yang bersahabat dengan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, melihatnya, mendengar darinya,
dan siapapun yang melihat dengan kedua matanya dan beriman kepadanya meski
sesaat adalah lebih utama disebabkan persahabatan ini daripada Tabiin meskipun
pernah mengerjakaan semua amal kebaikan.
14. Wajib
Mendengar dan Taat Kepada Pemimpin Meskipun Zolim
وَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِلْأَئِمَّةِ وَأَمِيرِ المُؤْمِنِينَ البَرِّ وَالفَاجِرِ،
وَمَنْ وَلِيَ الخِلَافَةَ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَرَضُوا بِهِ، وَمَنْ غَلَبَهُمْ
بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً وَسُمِّيَ أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ.
(34) Wajib mendengar dan taat kepada para
imam dan Amirul Mukminin, shalih maupun zolim, dan kepada siapa saja yang
memegang kepemimpinan di mana manusia berkumpul padanya dan meridhoinya, dan
kepada siapa yang menang kudeta dengan senjata hingga menjadi khalifah dan
dipanggil Amirul Mukminin.
وَالغَزْوُ مَاضٍ مَعَ الأَمِيرِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ البَرِّ وَالفَاجِرِ،
لَا يُتْرَكُ.
(35) Berperang bersama pemimpin yang shalih
dan zolim berlaku hingga hari Kiamat, dan tidak boleh ditinggalkan.
وَقِسْمَةُ الفَيْءِ وَإِقَامَةُ الحُدُودِ إِلَى الأَئِمَّةِ مَاضٍ، لَيْسَ لِأَحَدٍ
أَنْ يَطْعَنَ عَلَيْهِمْ وَلَا يُنَازِعَهُمْ.
(36) Pembagian fai (ghonimah yang
diperoleh tanpa peperangan) dan penerapan had (hukuman) menjadi hak pemimpin
dan selalu diberlakukan. Tidak boleh seorang pun memprotesnya dan menentangnya.
وَدَفْعُ الصَّدَقَاتِ إِلَيْهِمْ جَائِزَةٌ نَافِذَةٌ، مَنْ دَفَعَهَا إِلَيْهِمْ
أَجْزَأَتْ عَنْهُ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا.
(37) Pembayaran zakat kepada mereka adalah
diperbolehkan dan sah. Siapa yang menyerahkan zakat mereka kepada penguasa (untuk
didistribusikan) maka telah sah, baik pemimpin baik maupun zolim.
وَصَلَاةُ الجُمُعَةِ خَلْفَهُ وَخَلْفَ مَنْ وَلَّاهُ جَائِزَةٌ بَاقِيَةٌ تَامَّةٌ
رَكْعَتَيْنِ، مَنَ أَعَادَهُمَا فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، تَارِكٌ لِلْآثَارِ، مُخَالِفٌ
لِلسُّنَّةِ، لَيْسَ لَهُ مِنْ فَضْلِ الجُمُعَةِ شَيْءٌ إِذَا لَمْ يَرَ الصَّلَاةَ
خَلْفَ الأَئِمَّةِ مَنْ كَانُوا بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ؛ فَالسُّنَّةُ أَنَّ يُصَلِّيَ
مَعَهُمْ رَكْعَتَيْنِ، وَيَدِينُ بِأَنَّهَا تَامَّةٌ، وَلَا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ
مِنْ ذَلِكَ شَكٌّ.
(38) Shalat (Jumat) bermakmum kepadanya
dan kepada siapa yang ditunjuk olehnya adalah boleh dan sempurna dua rakaat.
Siapa yang mengulangnya (karena menganggap tidak sah) maka ia seorang ahli bid’ah,
meninggalkan petunjuk dan menyelisihi Sunnah. Tidak mendapatkan pahala Jumat
sedikitpun siapa yang memandang tidak sah bermakmum kepada pemimpin tersebut,
yang shalih maunpun yang zolim. Sebab, yang sesuai Sunnah adalah shalat bersama
mereka dua rakaat dan meyakini telah sempurna, tanpa ada keaguan sedikitpun di
hatimu.
وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامِ المُسْلِمِينَ - وَقَدْ كَانَ النَّاسُ اجْتَمَعُوا
عَلَيْهِ وَأَقَرُّوا لَهُ بِالخِلَافَةِ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ بِالرِّضَا أَوْ بِالغَلَبَةِ
- فَقَدْ شَقَّ هَذَا الخَارِجُ عَصَا المُسْلِمِينَ، وَخَالَفَ الآثَارَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ، فَإِنْ مَاتَ الخَارِجُ عَلَيْهِ؛ مَاتَ مِيتَةَ جَاهِلِيَّةٍ.
(39) Siapa yang memberontak pemimpin kaum
Muslimin, sementara manusia telah menyepakatinya dan mengakui kepemimpinannya
dengan cara apapun, dengan kerelaan maupun kudeta, maka si Khowarij itu telah
mematahkan persatuan kaum Muslimin, menyelisihi hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Jika si Khowarij ini mati di atas itu maka ia mati
seperti matinya orang Jahiliyah.
وَلَا يَحِلُّ قِتَالُ السُّلْطَانِ وَلَا الخُرُوجُ عَلَيْهِ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ،
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ وَالطَّرِيقِ.
(40) Tidak boleh bagi siapapun memerangi
penguasa dan tidak boleh pula memberontaknya. Siapa yang melakukan itu maka ia
seorang mubtadi, tidak di atas Sunnah dan jalan yang lurus.
15. Memerangi
Gerombolan Begal dan Khowarij
وَقِتَالُ اللُّصُوصِ وَالخَوَارِجِ جَائِزٌ إِذَا عَرَضُوا لِلرَّجُلِ فِي نَفْسِهِ
وَمَالِهِ، فَلَهُ أَنْ يُقَاتِلَ عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ، وَيَدْفَعُ عَنْهَا بِكُلِّ
مَا يَقْدِرُ. وَلَيْسَ لَهُ إِذَا فَارَقُوهُ أَوْ تَرَكُوهُ أَنْ يَطْلُبَهُمْ، وَلَا
يَتْبَعَ آثَارَهُمْ، لَيْسَ لِأَحَدٍ إِلَّا الْإِمَامَ أَوْ وُلَاةَ الْمُسْلِمِينَ.
(41) Boleh memerangi gerombolan begal dan
Khowarij jika mereka membegal jiwa dan harta seseorang. Dia boleh melawannya
untuk mempertahankan jiwa dan hartanya, dan melawannya sekuat tenaga. Jika
mereka kabur atau meninggalkannya maka ia tidak boleh mengejarnya dan mengikuti
jejaknya. Yang boleh mengejarnya hanya pemimpin dan penguasa kaum Muslimin.
إِنَّمَا لَهُ أَنْ يَدْفَعَ عَنْ نَفْسِهِ فِي مَقَامِهِ ذَلِكَ، وَيَنْوِيَ بِجُهْدِهِ
أَنْ لَا يَقْتُلَ أَحَدًا، فَإِنْ مَاتَ عَلَى يَدَيْهِ فِي دَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ
فِي المَعْرَكَةِ فَأَبْعَدَ اللَّهُ المَقْتُولَ، وَإِنْ قُتِلَ هَذَا فِي تِلْكَ
الحَالِ وَهُوَ يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ، رَجَوْتُ لَهُ الشَّهَادَةَ، كَمَا
جَاءَ فِي الأَحَادِيثِ.
(42) Dia boleh melawannya untuk
menyelamatkan jiwanya hanya di tempat itu, dan dia berusaha berniat tidak
membunuhnya. Jika pun dia mati di tangannya demi menyelamatkan jiwanya di
tempat itu maka Allah telah menjauhkan gangguan orang yang terbunuh itu. Jika
justru dia yang mati di tempat itu demi mempertahankan jiwa dan hartanya maka
aku berharap dia mati syahid, seperti yang terdapat dalam beberapa hadits.
وَجَمِيعُ الآثَارِ فِي هَذَا إِنَّمَا أُمِرَ بِقِتَالِهِ، وَلَمْ يُؤْمَرْ بِقَتْلِهِ
وَلَا اتِّبَاعِهِ، وَلَا يُجْهِزُ عَلَيْهِ إِنْ صُرِعَ أَوْ كَانَ جَرِيحًا، وَإِنْ
أَخَذَهُ أَسِيرًا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْتُلَهُ، وَلَا يُقِيمَ عَلَيْهِ الحَدَّ،
وَلَكِنْ يَرْفَعُ أَمْرَهُ إِلَى مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ، فَيَحْكُمُ فِيهِ.
(43) Semua hadits dalam masalah ini hanya
memerintahkan memerangi bukan membunuhnya dan tidak pula mengejarnya. Tidak
boleh membunuhnya jika ia menyerah atau terluka, dan jika ia tertawan maka
tidak boleh dibunuh, dan tidak boleh dilaksanakan hukuman baginya, tetapi
perkaranya diserahkan kepada siapa yang Allah jadikan sebagai pemimpin, dan dia
yang berhak menghukumnya.
16. Tidak
Memvonis Siapapun Masuk Surga atau Neraka
وَلَا نَشْهَدُ عَلَى أَهْلِ القِبْلَةِ بِعَمَلٍ يَعْمَلُهُ بِجَنَّةٍ وَلَا نَارٍ،
نَرْجُو لِلصَّالِحِ، وَنَخَافُ عَلَيْهِ، وَنَخَافُ عَلَى المُسِيءِ المُذْنِبِ، وَنَرْجُو
لَهُ رَحْمَةَ اللَّهِ.
(44) Kami tidak bersaksi atas siapapun
dari ahli Qiblat (kaum Muslimin) karena amal yang dikerjakannya bahwa ia masuk
Surga atau Neraka. Akan tetapi kami berharap Surga bagi orang shalih sekaligus
mengkhawatirkannya masuk Neraka, dan kami juga mengkhawatirkan orang jelek yang
berdosa sekaligus mengharapkan rahmat Allah atasnya.
وَمَنْ لَقِيَ اللَّهَ بِذَنْبٍ يَجِبُ لَهُ بِهِ النَّارُ تَائِبًا غَيْرَ مُصِرٍّ
عَلَيْهِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَتُوبُ عَلَيْهِ، وَيَقْبَلُ التَّوْبَةَ
عَنْ عِبَادِهِ، وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ.
(45) Siapa yang bertemu Allah membawa dosa
yang mengancamnya masuk Neraka, dalam keadaan bertaubat dan tidak terus-menerus
berbuat dosa, maka Allah menerima taubatnya, dan Dia menerima taubat dari para
hambaNya dan memaafkan dosa-dosa.
وَمَنْ لَقِيَهُ وَقَدْ أُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فِي الدُّنْيَا؛
فَهُوَ كَفَّارَتُهُ، كَمَا جَاءَ فِي الخَبَرِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ.
(46) Siapa yang bertemu Allah sementara
dosanya sudah ditegakkan had atasnya di dunia maka hal itu menjadi kaffarot
(penebus dosanya), sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
وَمَنْ لَقِيَهُ مُصِرًّا غَيْرَ تَائِبٍ مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي قَدِ اسْتَوْجَبَ
بِهَا العُقُوبَةَ؛ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ،
وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
(47) Siapa yang bertemu Allah dalam
keadaan masih bergelimang dosa tanpa bertaubat dari dosa yang mengancamnya akan
disika, maka urusannya (dosanya diampuni atau tidak) terserah Allah. Terserah
Allah menghendaki menyiksanya atau mengampuninya.
وَمَنْ لَقِيَهُ كَافِرًا عَذَّبَهُ وَلَمْ يَغْفِرْ لَهُ.
(48) Siapa yang bertemu Allah dalam
keadaan kafir maka ia pasti disiksa dan tidak akan diampuni.
17. Rajam
Benar Adanya
وَالرَّجْمُ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَا وَقَدْ أُحْصِنَ إِذَا اعْتَرَفَ أَوْ قَامَتْ
عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ. وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَقَدْ رَجَمَتِ الأَئِمَّةُ
الرَّاشِدُونَ.
(49) Rajam (hukuman pezina dengan dilempar
batu hingga mati) adalah benar adanya, yaitu atas siapa yang sudah menikah,
jika ia mengaku sendiri atau terdapat bukti (hamil). Sungguh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah menegakkan rajam, begitu pula Khulafa Rasyidun.
18. Hukum
Mencaci Sahabat
وَمَنِ انْتَقَصَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، أَوْ أَبْغَضَهُ بِحَدَثٍ
كَانَ مِنْهُ، أَوْ ذَكَرَ مَسَاوِئَهُ؛ كَانَ مُبْتَدِعًا حَتَّى يَتَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ
جَمِيعًا، وَيَكُونَ قَلْبُهُ لَهُمْ سَلِيمًا.
(50) Siapa yang merendahkan salah satu
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau membencinya
dikarenakan sebuah peristiwa atau menyebut-nyebut keburukannya maka ia seorang
mubtadi. Akan tetapi selayaknya ia mendoakan rahmat untuk mereka dan hatinya
bersih dari membenci mereka.
19. Kemunafikan
adalah Kekufuran
وَالنِّفَاقُ هُوَ الكُفْرُ، أَنْ يَكْفُرَ بِاللَّهِ وَيَعْبُدَ غَيْرَهُ، وَيُظْهِرَ
الإِسْلَامَ فِي العَلَانِيَةِ مِثْلَ المُنَافِقِينَ الَّذِينَ كَانُوا عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ.
(51) Kemunafikan adalah kekufuran, yaitu
kafir kepada Allah dan menyembah selainNya, serta menampakkan Islam saat
bersama banyak orang, seperti orang-orang munafik di masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
وَقَوْلُهُ ﷺ: «ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ»؛ هَذَا عَلَى التَّغْلِيظِ،
نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ، وَلَا نُفَسِّرُهَا، وَقَوْلُهُ ﷺ: «لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي
كُفَّارًا ضُلَّالًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ»، وَمِثْلُ: «إِذَا
التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُولُ فِي النَّارِ»،
وَمِثْلُ: «سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»، وَمِثْلُ: «مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ!
فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»، وَمِثْلُ: «كُفْرٌ بِاللَّهِ: تَبَرُّؤٌ مِنْ
نَسَبٍ، وَإِنْ دَقَّ»، وَنَحْوُ هَذِهِ الأَحَادِيثِ مِمَّا قَدْ صَحَّ وَحُفِظَ؛
فَإِنَّا نُسَلِّمُ لَهُ وَإِنْ لَمْ نَعْلَمْ تَفْسِيرَهَا، وَلَا نَتَكَلَّمُ فِيهِ،
وَلَا نُجَادِلُ فِيهِ، وَلَا نُفَسِّرُ هَذِهِ الأَحَادِيثَ إِلَّا مِثْلَ مَا جَاءَتْ،
وَلَا نَرُدُّهَا إِلَّا بِأَحَقِّ مِنْهَا.
(52) Sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Ada tiga sifat yang jika terdapat pada seseorang
maka ia menjadi munafik,” adalah ancaman keras, kami meriwayatkannya apa
adanya dan tidak menafsirkannya. Begitu juga sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam: “Kalian jangan kembali menjadi kafir lagi sesat
sepeninggalku, kalian saling membunuh,” dan seperti “Apabila dua Muslim
saling bertemu dengan pedangnya maka si pembunuh dan yang dibunuh di Neraka
semua,” dan seperti “Mencaci-maki seorang Muslim adalah kefasikan dan
membunuhnya adalah kekufuran,” dan seperti “Siapa yang memanggil
saudaranya: ‘Hai kafir!’ Maka vonis itu akan kembali kepada salah satu dari
keduanya,” dan seperti “Termasuk kafir kepada Allah adalah berlepas diri
dari nasabnya sendiri meskipun sedikit,” dan hadits-hadits yang seperti ini
dari hadits shahih dan terjaga, maka kami menerimanya meski tidak tahu
tafsirnya, dan kami tidak mendiskusikannya dan tidak mengajak debat
membahasnya. Kami tidak menafsirkan hadits-hadits ini kecuali dibiarkan apa
adanya, dan kami tidak menolaknya kecuali dengan yang lebih shahih darinya.
20. Surga
dan Neraka adalah Makhluk
وَالجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ، قَدْ خُلِقَتَا، كَمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ: «دَخَلْتُ الجَنَّةَ فَرَأَيْتُ قَصْرًا»، وَ«رَأَيْتُ الكَوْثَرَ»، وَ«اطَّلَعْتُ فِي الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ
أَكْثَرَ أَهْلِهَا كَذَا»، وَ«اطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ كَذَا وَكَذَا»، فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُمَا لَمْ تُخْلَقَا فَهُوَ مُكَذِّبٌ بِالقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَلَا أَحْسِبُهُ يُؤْمِنُ بِالجَنَّةِ وَالنَّارِ.
(53) Surga dan Neraka adalah makhluk dan
keduanya sudah diciptakan, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Aku telah memasuki Surga dan melihat istana,” dan
“Aku telah melihat telaga Kautsar,” dan “Aku telah melihat Surga dan
rupanya kebanyakan penduduknya adalah fuqoro,” dan “Aku telah melihat
Neraka dan melihat apa yang di dalamnya.” Siapa yang menyangka bahwa
keduanya belum diciptakan maka ia mendustakan Al-Quran dan hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aku menyangka dia tidak
beriman kepada Surga dan Neraka.
21. Sikap
Terhadap Orang Islam Bertauhid yang Wafat
وَمَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ مُوَحِّدًا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُسْتَغْفَرُ
لَهُ، وَلَا يُحْجَبُ عَنْهُ الِاسْتِغْفَارُ، وَلَا تُتْرَكُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ
لِذَنْبٍ أَذْنَبَهُ صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا، وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ.
(54) Siapa dari ahli Qiblat (kaum
Muslimin) meninggal dalam keadaan bertauhid maka dia (berhak) dishalati dan
dimintakan ampun untuknya. Permohonan ampun untuknya tidak boleh dihalangi dan
mensholatinya tidak boleh ditinggal meskipun ia membawa dosa, baik dosa kecil
maupun dosa besar, sementara perkaranya (dosanya diampuni atau tidak) terserah
Allah.
Penutup
آخِرُ الرِّسَالَةِ، وَالحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَصَلَوَاتُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَآلِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيمًا.
Ini akhir risalah. Segala puji milik Allah semata dan semoga shalawat dan
salam untuk Muhammad dan keluarganya.
***
Comments
Post a Comment